Cari Blog Ini

Kamis, 09 Januari 2014

GAWAT JANIN (FETAL DISTRESS)
1.      Pengertian
             Fetal Distress (Gawat janin) adalah gangguan pada janin dapat terjadi pada masa antepartum atau intrapartum. Kegawatan janin antepartum menjadi nyata dalam bentuk retardasi pertumbuhan intrauterin. Hipoksia janin peningkatan tahanan vaskular pada pembuluh darah janin. (Nelson, Ilmu Kesehatan Anak)
             Gawat janin terjadi bila janin tidak menerima Oksigen cukup, sehingga mengalami hipoksia. (Abdul Bari Saifuddin dkk.2002 ). Secara luas istilah gawat janin telah banyak dipergunakan, tapi didefinisi istilah ini sangat miskin. Istilah ini biasanya menandakan kekhawatiran obstetric tentang obstetric tentang keadaan janin, yang kemudian berakhir dengan seksio secarea atau persalinan buatan lainnya.
             Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung janin (DJJ). Dan memeriksa kemungkinan adanya mekonium didalam cairan amniom. Sering dianggap DJJ yang abnormal, terutama bila ditemukan mekonium, menandakan hipoksia dan asidosis. Akan tetapi, hal tersebut sering kali tidak benarkan  . Misalnya, takikardi janin dapat disebabkan bukan hanya oleh hipoksia dan asidosis, tapi juga oleh hipotemia, sekunder dari infeksi intra uterin.
             Keadaan tersebut biasanya tidak berhubungan dengan hipoksia janin atau asidosis.sebaliknya, bila DJJ normal, adanya mekonium dalam cairan amnion tidak berkaitan dengan meningkatnya insidensi asidosis janin. Untuk kepentingan klinik perlu ditetapkan criteria apa yang dimaksud dengan gawat janin. Disebut gawat janin bila ditemukan bila denyut jantung janin diatas 160 / menit atau dibawah 100 / menit, denyut jantung tidak teratur , atau keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan.

2.      Etiologi
Penyebab dari gawat janin yaitu:
a.       Insufisiensi uteroplasenter akut (kurangnya aliran darah uterus-plasenta dalam waktu singkat) :
1.      Aktivitas uterus yang berlebihan, hipertonik uterus, dapat dihubungkan dengan pemberian oksitosin.
2.      Hipotensi ibu, anestesi epidural,kompresi vena kava, posisi terlentang.
3.      Solusio plasenta.
4.      Plasenta previa dengan pendarahan.
b.      Insufisiensi uteroplasenter kronik (kurangnya aliran darah uterus-plasenta dalam waktu lama) :
1.      Penyakit hipertensi
2.      Diabetes mellitus
3.      Postmaturitas atau imaturitas
c.       Kompresi (penekanan) tali pusat
1.      Oligihidramnion
2.      Prolaps tali pusat
3.      Puntiran tali pusat
d.      Penurunan kemampuan janin membawa oksigen
1.      Anemia berat misalnya isomunisasi , perdarahan fetomaternal
2.      Kesejahteraan janin dalm persalinan asfiksia intrapartum dan komplikasi
3.      Skor APGAR 0-3 selam > 5 menit
4.      Sekuele neorologis neonatal
5.      Disfungsi multi organ neonatal
6.      PH arteri tali pusat 7,0
3.      Patofisiologi
Ada beberapa proses atau tahapan terjadinya peristiwa Fetal Distress, antara lain :
a.       Perubahan pada kehamilan Postterm
Terjadi beberapa perubahan cairan amnion, plasenta dan janin pada kehamilan postterm. Dengan mengetahui perubahan tersebut sebagai dasar untuk mengelola persalinan postterm.

b.      Perubahan cairan amnion
Terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu sekitar 1000 ml dan menurun sekitar 800 ml pada 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml , 250 ml, 160 ml pada usia kehamilan 42 dan 43 minggu.
Penurunan tersebut berhubungan dengan produksi urin janin yang berkurang. Dilaporkan bahwa aliran darah janin menurun pada kehamilan postterm dan menyebabkan oligohidramnion.
Selain perubahan volume terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion menjadi kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi phosphilipid. Dengan lepasnya sejumlah lamellar bodies dari paru-paru janin dan perbandingan Lechitin terhadap Spingomielin menjadi 4 : 1 atau lebih besar. Dengan adanya pengeluaran mekonium maka cairan amnion menjadi hijau atau kuning.
Evaluasi volume cairan amnion sangat penting. Dilaporkan kematian perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat. Keadaan ini menyebabkan fetal distress intra partum pada persalinan postterm.
Untuk memperkirakan jumlah cairan amnion dapat di ukur dengan pemeriksaan ultrasonografi. Metode empat kuadran sangat popular. Dengan mengukur diameter vertikal dari kantung paling besar pada setiap kuadran. Hasil penjumlahan 4 kuadran disebut Amniotic Fluid Index ( AFI ). Bila AFI kurang dari 5 cm indikasi oligrohidramnion. AFI 5 – 10 cm indikasi penurunan volume cairan amnion. AFI 10 – 15 cm adalah normal. AFI 15 – 20 cm terjadi peningkatan volume cairan amnion. AFI lebih dari 25 cm indikasi polihidramnion.

c.       Perubahan pada plasenta
Plasenta sebagai perantara untuk suplai makanan dan tempat pertukaran gas antara maternal dan fetal. Dengan bertambahnya umur kehamilan, maka terjadi pula perubahan struktur plasenta.
Plasenta pada kehamilan postterm memperlihatkan pengurangan diameter dan panjang villi chorialis. Perubahan ini secara bersamaan atau di dahului dengan titik-titik penumpukan kalsium dan membentuk infark putih. Pada kehamilan atterm terjadi infark 10 % - 25 % sedangkan pada postterm terjadi 60% - 80 %.   Timbunan kalsium pada kehamilan postterm meningkat sampai 10 g / 100 g jaringan plasenta kering, sedangkan kehamilan atterm hanya 2 – 3 g / 100 g jaringan plasenta kering.
Secara histology plasenta pada kehamilan postterm meningkatkan infark plasenta, kalsifikasi, thrombosis intervilosus, deposit fibrin perivillosus, thrombosis arterial dan endarteritis arterial. Keadaan ini menurunkan fungsi plasenta sebagai suplai makanan dan pertukaran gas. Hal ini menyebabkan malnutrisi dan asfiksia.
Dengan pemeriksaan ultrasonografi dapat diketahui tingkat kematangan plasenta. Pada kehamilan postterm terjadi perubahan sebagai berikut :
a.       Piring korion : lekukan garis batas piring korion mencapai daerah basal.
b.      Jaringan plasenta : berbentuk sirkuler, bebas gema di tengah, berasal dari satu kotiledon ( ada darah dengan densitas gema tinggi dari proses kalsifikasi, mungkin memberikan bayangan akustik ) .
c.       Lapisan basal : daerah basal dengan gema kuat dan memberikan gambaran bayangan akustik. Keadaan plasenta ini di kategorikan tingkat 3.

d.      Perubahan pada janin
Sekitar 45 % janin yang tidak di lahirkan setelah hari perkiraan lahir, terus berlanjut tumbuh dalam uterus. Ini terjadi bila plasenta belum mengalami insufisiensi. Dengan penambahan berat badan setiap minggu dapat terjadi berat lebih dari 4000 g. keadaan ini sering disebut janin besar. Pada umur kehamilan 38 – 40 minggu insiden janin besar sekitar 10 % dan 43 minggu sekitar 43 %. Dengan keadaan janin tersebut meningkatkan resiko persalinan traumatik.
Janin postmatur mengalami penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput dan vernik kaseosa hilang. Hal ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lain yaitu : rambut panjang, kuku panjang, warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar mekonium.

4.      Komplikasi
a.       Pada Kehamilan
Gawat janin dapat menyebabkan berakhirnya kehamilan karena pada gawat janin, maka harus segera dikeluarkan.
1.      Pada persalinan
Gawat janin pada persalinan dapat menyebabkan :
a.       Persalinan menjadi cepat karena pada gawat janin harus segera dikeluarkan
b.      Persalinan dengan tindakan, seperti ekstraksi cunam, ekstraksi forseps, vakum ekstraksi, ataupun bahkan dapat diakhiri dengan tindakan sectio saesarea (SC)

5.      Diagnosa
Diagnosis gawat janin saat persalinan didasarkan pada denyut jantung janin yang abnormal. Diagnosis lebih pasti jika disertai air ketuban hijau dan kental/ sedikit. Gawat janin dapat terjadi dalam persalinan karena partus lama, Infuse oksitosin, perdarahan, infeksi, insufisiensi plasenta, ibu diabetes, kehamilan pre dan posterm atau prolapsus tali pusat. Hal ini harus segera dideteksi dan perlu penanganan segera.

6.      Klasifikasi
Jenis gawat janin yaitu :
a.       Gawat janin yang terjadi secara ilmiah
1.      Gawat janin iatrogenic
Gawat janin iatrogenik adalah gawat janin yang timbul akibat tindakan medik atau kelalaian penolong. Resiko dari praktek yang dilakukan telah mengungkapkan patofisiologi gawat janin iatrogenik akibat dari pengalaman pemantauan jantung janin.
2.      Posisi tidur ibu
Posisi terlentang dapat menimbulkan tekanan pada Aorta dan Vena Kava sehingga timbul Hipotensi. Oksigenisasi dapat diperbaiki dengan perubahan posisi tidur menjadi miring ke kiri atau semilateral.
3.      Infus oksitosin
Bila kontraksi uterus menjadi hipertonik atau sangat kerap, maka relaksasi uterus terganggu, yang berarti penyaluran arus darah uterus mengalami kelainan. Hal ini disebut sebagai Hiperstimulasi. Pengawasan kontraksi harus ditujukan agar kontraksi dapat timbul seperti kontrkasi fisiologik.
4.      Anestesi Epidural
Blokade sistem simpatik dapat mengakibatkan penurunan arus darah vena, curah jantung dan penyuluhan darah uterus. Obat anastesia epidural dapat menimbulkan kelainan pada denyut jantung janin yaitu berupa penurunan variabilitas, bahkan dapat terjadi deselerasi lambat. Diperkirakan ibat-obat tersebut mempunyai pengaruh terhadap otot jantung janin dan vasokontriksi arteri uterina.

b.      Gawat janin sebelum persalinan
c.       Gawat janin kronik
Dapat timbul setelah periode yang panjang selama periode antenatal bila status fisiologi dari ibu-janin-plasenta yang ideal dan normal terganggu.
d.      Gawat janin akut
Suatu kejadian bencana yang tiba – tiba mempengaruhi oksigenasi janin.
e.       Gawat janiselama persalinan
Menunjukkan hipoksia janin tanpa oksigenasi yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan varibilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap, glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang menurun. (Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekkologi, 1994 : 211-213)

7.      Penatalaksanaan
a.       Penanganan umum:
1.      Pasien dibaringkan miring ke kiri, agar sirkulasi janin dan pembawaan oksigen dari obu ke janin lebih lancer.
2.      Berikan oksigen sebagai antisipasi terjadinya hipoksia janin.
3.      Hentikan infuse oksitosin jika sedang diberikan infuse oksitosin, karena dapat mengakibatkan peningkatan kontraksi uterus yang berlanjut dan meningkat dengan resiko hipoksis janin.
4.      Jika sebab dari ibu diketahui (seperti demam, obat-obatan) mulailah penanganan yang sesuai.
5.      Jika sebab dari ibu tidak diketahui dan denyut jantung janin tetap abnormal sepanjang paling sedikit 3 kontraksi, lakukan pemeriksaan dalam untuk mencari penyebab gawat janin:
·         Bebaskan setiap kompresi tali pusat
·         Perbaiki aliran darah uteroplasenter
·         Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau kelahiran segera merupakan indikasi.
Rencana kelahiran (pervaginam atau perabdominam) didasarkan pada fakjtor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat obstetric pasien dan jalannya persalinan.

b.      Penatalaksanaan Khusus
1.      Posisikan ibu dalam keadaan miring sebagai usaha untuk membebaskan kompresi aortokaval dan memperbaiki aliran darah balik, curah jantung dan aliran darah uteroplasenter. Perubahan dalam posisi juga dapat membebaskan kompresi tali pusat.
2.      Oksigen diberikan melalui masker muka 6 liter permenit sebagai usaha untuk meningkatkan pergantian oksigen fetomaternal.
3.      Oksigen dihentikan, karena kontraksi uterus akan mengganggu curahan darah ke ruang intervilli.
4.      Hipotensi dikoreksi dengan infus intravena dekstrose 5 % berbanding larutan laktat. Transfusi darah dapat di indikasikan pada syok hemoragik.
5.      Pemeriksaan pervaginam menyingkirkan prolaps tali pusat dan menentukan perjalanan persalinan.
6.      Pengisapan mekonium dari jalan napas bayi baru lahir mengurangi risiko aspirasi mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung dan mulut dibersihkan dari mekoneum dengan kateter pengisap. Segera setelah kelahiran, pita suara harus dilihat dengan laringoskopi langsung sebagai usaha untuk menyingkirkan mekoneum dengan pipa endotrakeal.

a.          Prinsip Umum :
1.      Bebaskan setiap kompresi tali pusat
2.      Perbaiki aliran darah uteroplasenter
3.      Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau kelahiran segera merupakan indikasi. Rencana kelahiran (pervaginam atau perabdominam) didasarkan pada faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat obstetric pasien dan jalannya persalinan.
b.          Penatalaksanaan Khusus:
1.      Posisikan ibu dalam keadaan miring sebagai usaha untuk membebaskan kompresi aortokaval dan memperbaiki aliran darah balik, curah jantung dan aliran darah uteroplasenter. Perubahan dalam posisi juga dapat membebaskan kompresi tali pusat.
2.      Oksigen diberikan melalui masker muka 6 liter permenit sebagai usaha untuk meningkatkan pergantian oksigen fetomaternal.
3.      Oksigen dihentikan, karena kontraksi uterus akan mengganggu curahan darah ke ruang intervilli.
4.      Hipotensi dikoreksi dengan infus intravena dekstrose 5 % dalam larutan laktat. Transfusi darah dapat di indikasikan pada syok hemoragik.
5.      Pemeriksaan pervaginam menyingkirkan prolaps tali pusat dan menentukan perjalanan persalinan.
6.      Pengisapan mekonium dari jalan napas bayi baru lahir mengurangi risiko aspirasi mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung dan mulut dibersihkan dari mekoneum dengan kateter pengisap. Segera setelah kelahiran, pita suara harus dilihat dengan laringoskopi langsung sebagai usaha untuk menyingkirkan mekoneum dengan pipa endotrakeal. (Abdul Bari Saifuddin dkk.2002 )

c.          Pengelolaan Antepartum
Dalam pengelolan antepartum diperhatikan tentang umur kehamilan. Menentukan umur kehamilan dapat dengan menghitung dari tanggal menstruasi terakhir, atau dari hasil pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 12-20 minggu. Pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan postterm tidak akurat untuk menentukan umur kehamilan. Tetapi untuk menentukan volume cairan amnion (AFI), ukuran janin, malformasi janin dan tingkat kematangan plasenta.
Untuk menilai kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 40 minggu dengan pemeriksaan Non Stess Test (NST). Pemeriksaan ini untuk menditeksi terjadinya insufisiensi plasenta tetapi tidak adekuat untuk mendiagnosis oligohidramnion, atau memprediksi trauma janin.
Secara teori pemeriksaan profil biofisik janin lebih baik. Selain NST juga menilai volume cairan amnion, gerakan nafas janin, tonus janin dan gerakan janin. Pemeriksaan lain yaituOxytocin Challenge Test (OCT) menilai kesejahteraan janin dengan serangkaian kejadian asidosis, hipoksia janin dan deselerasi lambat.
Penilaian ini dikerjakan pada umur kehamilan 40 dan 41 minggu. Setelah umur kehamilan 41 minggu pemeriksaan dikerjakan 2 kali seminggu. Pemeriksaan tersebut juga untuk menentukan
Penulis lain melaporkan bahwa kematian janin secara bermakna meningkat mulai umur kehamilan 41 minggu. Oleh karena itu pemeriksaan kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 41 minggu.
Pemeriksaan amniosintesis dapat dikerjakan untuk menentukan adanya mekonium di dalam cairan amnion. Bila kental maka indikasi janin segera dilahirkan dan memerlukan amnioinfusion untuk mengencerkan mekonium.
Dilaporkan 92% wanita hamil 42 minggu mempunyai serviks tidak matang dengan Bishop score kurang dari 7. Ditemukan 40% dari 3047 wanita dengan kehamilan 41 minggu mempunyai serviks tidak dilatasi. Sebanyak 800 wanita hamil postterm diinduksi dan dievaluasi di Rumah Sakit Parkland. Pada wanita dengan serviks tidak dilatasi, dua kali meningkatkan seksio cesarea karena distosia.

d.         Pengelolaan Intrapartum
Persalinan pada kehamilan postterm mempunyai risiko terjadi bahaya pada janin. Sebelum menentukan jenis pengelolaan harus dipastikan adakah disporposi kepala panggul, profil biofisik janin baik. Induksi kehamilan 42 minggu menjadi satu putusan bila serviks belum matang denganmonitoring janin secara serial. Pilihan persalinan tergantung dari tanda adanya fetal compromise. Bila tidak ada kelainan kehamilan 41 minggu atau lebih dilakukan dua pengelolaan. Pengelolaan tersebut adalah induksi persalinan dan monitoring janin. Dilakukan pemeriksaan pola denyut jantung janin.
Selama persalinan dapat terjadi fetal distress yang disebabkan kompresi tali pusat oleh karena oligohidramnion. Fetal distress dimonitor dengan memeriksa pola denyut jantung janin. Bila ditemukan variabel deselerasi, satu atau lebih deselerasi yang panjang maka seksio cesarea segera dilakukan karena janin dalam bahaya.

Bila cairan amnion kental dan terdapat mekonium maka kemungkinan terjadi aspirasi sangat besar. Aspirasi mekonium dapat menyebabkan disfungsi paru berat dan kematian janin. Keadaan ini dapat dikurangi tetapi tidak dapat menghilangkan dengan penghisapan yang efektif pada faring setelah kepala lahir dan sebelum dada lahir. Jika didapatkan mekonium, trakea harus diaspirasi segera mungkin setelah lahir. Selanjutnya janin memerlukan ventilasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar